You are currently viewing Bedah Buku “Setrum Warsito” – Warsito dan Setrumnya untuk Senyum Indonesia

Bedah Buku “Setrum Warsito” – Warsito dan Setrumnya untuk Senyum Indonesia

RESUME BEDAH BUKU “SETRUM WARSITO”

Oleh

Diah Anindiah Said

Warsito dan Setrumnya untuk Senyum Indonesia

Judul               : Setrum Warsito

                          Kisah di Balik Penemuan Rompi Anti Kanker

Penulis            : Fenty Effendy

Penerbit          : naura

Tahun Terbit  : 2017

Tebal               : xix + 324 halaman

Warsito bukan hanya seorang peneliti, dia mendidik, membangun jaringan penelitian, mengumpulkan ilmuwan dan teknolog untuk lebih berkontribusi, dan mengadvokasi kebijakan. Ia merupakan salah satu pahlawan bagi banyak penerima kanker di Indonesia dan berbagai negara lain.

“Bersama menguningnya daun-daun pinus, dan memerahnya bumi Jepang, tanda musim gugur mulai tiba. Bersama Allah SWT., jiwaku terbakar untuk bangkit menghadapi masa depan dan menghapuskan kegagalan masa yang telah lalu.”

~ Surat Warsito kepada Didied Haryono, April 1990 ~

Lahir di Karanganyar, 15 Mei 1967 adalah anak ke-6 dari pasangan Purwo Taruno dan Rubiyah. Tepatnya Desa Ploso Lor, di kaki Gunung Lawu. Kegigihan kedua orang tuanya membanting tulang membuat 8 bersaudara tersebut bergerak menambah penghasilan keluarga. Mereka menanam rumput untuk dijual ke pasar dan hasilnya digunakan untuk melengkapi kebutuhan sekolah secara bergantian. Sebagai anak petani, musim kemarau adalah hal yang tak bisa ditawar. Purwo Taruno sekeluarga mengisi perut dengan _pohung_  (ketela pohon) sebagai pengganti beras. Kadang, hanya sepanci sayur rebung yang dimasak dengan santan encer dicampur daun.

Meskipun dipandang sebelah mata dalam pergaulan, Warsito kecil pantang kalah di sekolah. Ia kerap memperebutkan gelar juara kelas. Warsito dikenal sebagai siswa berprestasi. Ia melakukan eksperimen, di antaranya membuat jamur merang, menangkap belut sawah malam-malam, dan membuat alarm air berdasarkan Hukum Kapilar.

Saat menduduki bangku SMA, bersama timnya, Warsito memboyong piala bergilir Prof. Dr. Ahmad Baiquni untuk SMAN1 Karanganyar. Kemudian, di tahun terakhir SMA, Warsito mulai memikirkan akan kuliah dimana. Menyukai fisika, tetapi tak ingin jauhjauh, cukup Yogyakarta. Namun, karena Teknik Fisika UGM belum ada saat itu, maka ia memilih Teknik Kimia UGM dan Teknik Fisika ITB.

Ia sempat sedih bukan kepalang  akibat dinyatakan tidak lolos PMDK. Namun, Bu Puji selaku gurunya, selalu mendukung dan menyemangati anak didiknya bahwa gagal adalah kalau kamu putus asa. Terkadang, orang harus mutermuter jalannya sebelum bertemu kesuksesan.

Warsito pada akhirnya berangkat untuk menuntut ilmu. Meski sempat dilema sebelum keberangkatan, tetapi hal tersebut dapat teratasi. Purwo Taruno dan istri yang mengantarnya ke Bandara, bergumam dalam hati, ”Mimpi apa… punya bocah hanya sanggup menyekolahkan sampai SMA. Eh, sekarang terbang ke negeri orang untuk kuliah dan dibayari pula.”

Dua belas bulan pertama di Jepang, ia habiskan untuk belajar di Sekolah Bahasa Jepang Internasional. Memasuki tahun kedua, Warsito menemukan hobi baru, Memasak. Ia tertarik untuk mengeksplorasi rasa dari bahanbahan yang dibelinya. Selain hobi, ternyata memasak ampuh untuk menetralkan emosi.

Mempelajari huruf kanji. Setelah dinyatakan lulus, ia baru diperbolehkan ke Shizuoka untuk memulai perkuliahan di _Department of Chemical Engineering Shizuoka University_. Meskipun lulus, tetapi kanji masih menjadi masalah. Suara dosen dengan aksen khas dan tugastugas berhuruf kanji. Warsito terus belajar, pada akhirnya Ia mengoleksi lebih dari 15 kamus.

Warsito adalah mahasiswa pertama Indonesia dan satu-satunya di Kampus Shizuoka saat itu. Prestasi akademisnya menonjol sehingga ia menarik perhatian tiga profesor pengampu mata kuliah paling berat di Teknik Kimia.

Warsito tidak menemui banyak hambatan saat menyelesaikan S1 dan S2. Hanya ada satu situasi yang membuatnya resah, yaitu ketika pemerintah Indonesia menghentikan program beasiswa pada 1994. Warsito yang saat itu ingin melanjutkan penelitian tentang tomografi. Berbekal prestasi akademis dan rekomendasi prof-nya, Warsito mengajukan beasiswa kepada Mombusho (Kementerian Pendidikan Jepang) dan diterima mengalahkan pesaing lainnya.

Penelitian yang dilakukannya mengharuskan Warsito berpindah dari Teknik Kimia ke Teknik Elektro. Ketika menekuni riset tomografi industri di Shizuoka University, dapat dikatakan bahwa ia merintis pengembangan ilmu pengetahuan baru di kampus tersebut. Konsep melihat tembus tanpa menembus yang diujinya terbukti. Temuannya dinamakan multi modal ultrasound tomography. Pertama di dunia.

Penelitian yang dilakukan Warsito lebih cepat satu tahun dari jangka waktu beasiswa yang diberikan pemerintah Jepang. Maret 1997, Warsito resmi menyandang gelar Doktor.

Di Agustus 1999, Warsito yang isengiseng mengirimkan papernya ke TU Delft. Papernya diterima, dan ia akan menjadi pembicara kunci (pembicara kunci termuda dalam 20th terakhir (menurut Liang Shih Fan)); senangnya bukan kepalang. Tulisannya dimuat pada halaman utama kategori topik khusus di Jurnal terkemuka bidang teknik kimia.

Usai menjadi pembicara, ditemui Prof Fan dan menyepakati akan meneliti di Amerika, Warsito mampir ke Eropa untuk refreshing. Singgah sejenak di Indonesia bertemu keluarga, dan kembali lagi ke Hamamatsu.Menyelesaikan apa yang diharus diselesaikan. Yang paling inti dari semua transformasi itu adalah lahirnya kesadaran tentang teknologi sebagai cara dan strategi menjadi negeri yang unggul.

Warsito tidak punya bayangan rahasia semesta apa yang menanti dibalik riset barunya. Inilah perjalanan yang mengantarkannya menemukan rompi anti kanker payudara dan helm pembasmi tumor otak.

Pada tahun 2000, di Oktober saat Warsito tengah berkutat menyempurnakan temuan algoritma, berita duka datang dari Jakarta. Ayahnya, Purwo Taruno menutup mata di usia 72th. Warsito setelah mendengar kabar tersebut, pulang pekan berikutnya. Tidak mudah pulang ke tanah air karena fasilitias pemesanan tiket via internet belum ada.

Saat melakukan penelitian ECCT, Warsito sempat kehilangan data di komputer miliknya pada bulan ke-4 penelitian. Data lenyap tak berbekas. Dua komputer di warnet sebelumnya, tempat ia menyimpan data pun hangus tersambar petir.

Seminggu berkubang asa. Warsito mencoba menata asa. Dengan sisa data yang berserakan, ia menyusun lagi kodekode program untuk dijalankan pada komputer baru.

Awal April 2004, kehilangan seluruh data dan di 20 April 2004, apa yang diharapkan terjadi. Konsep melihat tembus berbasis medan listrik di ruang sembarang terbukti. Kemudian, dikenal sebagai ECVT. ECVT mendunia. Ia segera menghiasi konferensi bergengsi, kongres dunia, dan berujung pada Warsito memberikan kuliah di Univ. Manchester. Tetapi batal dengan sendirinya akibat Profesor Krzyzstof Jankowski meninggal dunia.

 “Warsito memang menuntut kesempurnaan dalam mengerjakan segala sesuatu. Melenceng sedikit saja dari rencana, ia akan marah. Bahkan mengomel sambil membanting-banting benda yang berada di dekatnya. Pernah terjadi, tiba-tiba ponselnya tidak bisa dihubungi oleh Edi Sukur. Ternyata sudah rusak dibanting. Pernah pula alat komunikasi itu dilempar masuk got.”

Ada satu perjuangan Warsito yang didorong semangat merah putih, yaitu memasukkan nama Indonesia dalam dokumen paten internasional ECVT. Ia menolak karena riset tersebut bukan kerjasama antar negara. Namun, Warsito bertahan pada fakta bahwa pembuktian di lakukan di Indonesia.

Ini bukan soal royalti atas paten, tetapi ia ingin dunia tahu bahwa teknologi tersebut lahir di Indonesia, negeri yang tak pernah disebut dalam perbincangan tomografi industri. Media massa nasional makin jatuh hati pada Warsito. Majalah Gatra edisi Mei 2008 mencantumkan namanya dalam *Tokoh 100 Tahun Kebangkitan Indonesia*. Di Agustus 2009, ia menerima penghargaan Achmad Bakrie bidang Teknologi.

Juli 2008, Edwar Technology mendapat kunjungan dari Lembaga Riset Ilmu Pengetahuan Dasar dan Terapan di Jepang. Di tahun 2011, kembali mendapat kunjungan. Saat itu, riset ECVT sudah masuk aplikasi ke medis untuk pemindaian aktivitas otak manusia dan teknologi urutan ECVT. Dua tahun kemudian, setelah Edwar Tech. pindah ke Alam Sutera, ia kembali di kunjungi. Teknologi ECVT dan ECCT sudah berkembang jauh dibanding dengan purwarupa pertama yang dipamerkan di Tokyo, 2008.

Suatu Maret 2010, Warsito mendatangi Yanto dan kawan-kawannya. Di tangannya ada beberapa kutang dan ia meminta mereka membuat medan listrik di dalamnya. Mereka tertawa, menganggap bahwa itu hanya mainmain. Barangkali sebagai alat pengusir tikus.  Agustus 2010, barulah mereka tahu kalau kutang berisi lempengan elektroda itu untuk Suwarni, kakak Warsito yang terkena kanker payudara stadium empat. Setelah pemakaian rutin selama 2 bulan, hasil lab darah, USG, dan rontgen paruparu menunjukkan bahwa kanker tidak lagi terdeteksi.

Kabar kesembuhan Suwarni menjalar dari mulut ke mulut. Beberapa penderita kanker yang telah putus harapan dengan pengobatan medis menemui Warsito dan meminta dibuatkan alat serupa. Warsito memodifikasi sebuah rompi untuk kanker paruparu, sebuah celana dalam untuk kanker serviks, dan semacam alat penutup mulut serta penyangga leher untuk kanker kelenjar getah bening.

Kesembuhan dua dari 4 pasien tersebut menggembirakan. Namun, di sisi lain Warsito sadar bahwa pemahamannya tentang kanker masih sangat terbatas.

Setahun kemudian, Kemeristek menggelar pameran dalam rangka HarTekNas. Dalam kegiatan yang berlangsung 3 hari, Warsito memamerkan *brain activity scanner* ciptaannya.

Dalam berbagai forum, Warsito selalu menjelaskan bahwa  ECCT dibuat berdasarkan pemahaman bahwa tubuh manusia mengandung sistem kelistrikan. Dari berbagai literatur yang didalaminya, ternyata aktifitas sel kanker cenderung lebih tinggi daripada sel normal. ECCT harus dipakai secara terus menerus.

Kontroversi bergulir dari berbagai kalangan bahkan sampai sekarang. Termasuk di antaranya pencabutan izin menyampaikan materi oleh Kementerian Kesehatan yang sebelumnya memberi izin;  aksi protes dari asosiasi dokter, permintaan untuk menghentikan ECCT dari Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI) yang berkirim surat  ke Menteri Kesehatan; juga, susulan surat bertanggal 12 Agustus 2013 dari Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI) kepada Menteri Kesehatan perihal kekhawatiran mereka terhadap alat yang diciptakan Warsito.

Banyak hal yang menghambat, tidak menginginkan riset karya anak bangsa dipublikasikan. Alat terapi yang belum jelas manfaat dan keamanannya menjadi alasan mengapa mereka menolak inovasi Warsito.

Dibalik seluruh pencekalan yang dilakukan di negerinya, Warsito melangkah maju. Pantang menyerah. Warsito sadar, teknologi tak lahir dari ruang hampa emosi. Yang paling berarti bagi Warsito adalah dukungan dari  anak-anaknya.

 Bulan Juni 2015, Warsito  diundang secara khusus ke Jerman untuk memberikan kuliah umum dan workshop dalam Kongres Internasional ke-10 ISLA (di hadapan sekitar 150 peneliti, dokter, dan praktisi  kesehatan dunia,  ia menyampaikan puluhan kasus yang mengalami perbaikan secara drastic berkat ECCT).

Di forum tersebut, Warsito menandatangani perjanjian kerja sama dengan Presiden ISLA, Michael Weber untuk memanfaatkan teknologi ECCT sebagai terapi kanker di Jerman dan seluruh jaringan klinik Medical Systems di dunia.

Ketika berkunjung ke Jepang di tahun 2014, Warsito menemui sensei-nya, Shigeo Uchida. Meskipun ia sudah pensiun, tetapi masih mengajar di Sekolah Vokasi Teknologi Hamamatsu. “Di Jepang, alat seperti ini akan dibeli orang dengan  harga 10 Juta Yen.” Begitu kata Prof Uchida ketika berkomentar  tentang ECCT. Dalam rupiah, angka itu bernilai sekitar satu miliar.

Pesan Prof. Fan, yang diingatnya, ‘Kamu bisa dengan mudah menjadi Profesor dimana saja, tetapi janganlah menjadi one of another professor.’ Lulusan terbaik Shizuoka University ini akan terus berkarya, mengembangkan apa yang telah dimulainya. Di negeri orang, ia dicari. Di tanah airnya, Warsito seperti berjuang sendiri.

 “I did may part, now its your turn.

I came from  nothing and will lose anything.”

~ Warsito Purwo Taruno ~

Leave a Reply